Pernah nggak kamu beli sesuatu bukan karena butuh, tapi karena rasanya “kok semua orang punya, masa aku nggak?” atau “wah promo segini sayang kalau dilewatkan”? Kalau iya, selamat, kamu sudah kena jebakan 7 Deadly Sins Marketing.
Konsep ini awalnya datang dari “tujuh dosa besar”, tapi dalam marketing dipakai untuk menyentuh sisi emosional manusia. Karena faktanya, keputusan membeli jarang sekali murni soal logika, lebih sering soal rasa, gengsi, atau bahkan sekadar takut ketinggalan tren.
Coba lihat Apple. Mereka nggak cuma jual smartphone, tapi simbol status. Itulah yang disebut Pride, membuat orang merasa lebih tinggi derajatnya saat memegang produk tertentu. Lain lagi dengan Zara atau H&M. Koleksi baru mereka terus keluar, bikin konsumen merasa “harus beli” biar nggak ketinggalan gaya. Itulah Envy, strategi yang memanfaatkan rasa iri dan FOMO. Ada juga brand yang memilih jalan provokatif. Patagonia misalnya, dengan kampanye “Don’t Buy This Jacket” yang berani menentang budaya konsumtif, atau Pepsi dengan iklan “Better with Pepsi” yang frontal menyindir kompetitor. Strategi ini disebut Wrath, mengundang perhatian lewat sikap berani, meski tentu penuh risiko. Di sisi lain, ada brand yang justru sukses karena tahu manusia itu pada dasarnya suka hal yang mudah. Netflix dan Gojek, misalnya, tumbuh besar dengan menjanjikan kenyamanan tanpa ribet. Inilah kekuatan Sloth. Kalau bicara soal Greed, hampir semua e-commerce jadi contoh yang pas. Siapa yang nggak tergoda dengan flash sale Rp 1, gratis ongkir, atau cashback besar-besaran? Konsumen merasa mendapat lebih banyak dari yang mereka keluarkan. Sama halnya dengan McDonald’s lewat Extra Value Meal yang menawarkan porsi lebih hemat. Lalu ada Lust, yang bukan sekadar soal sensualitas, tapi tentang menciptakan keinginan kuat yang susah ditolak. Coca-Cola selalu divisualkan segar dan bikin haus setiap kali iklannya muncul. Sementara Victoria’s Secret menjual gaya hidup penuh daya tarik, bukan sekadar lingerie. Terakhir adalah Gluttony, yang bikin orang menikmati sesuatu secara berlebihan. KFC dengan bucket besar dan Oreo dengan kampanye “Twist, Lick, Dunk” sama-sama mengajak konsumennya untuk menikmati tanpa batas.
Kalau diperhatikan, tujuh strategi ini punya satu benang merah: semuanya bermain di ranah emosi manusia. Dari gengsi, iri, marah, malas, serakah, nafsu, sampai kerakusan, semua bisa jadi bahan bakar branding kalau dieksekusi dengan tepat.
Di Skena, kami percaya setiap brand punya “dosa” yang bisa digali dan diolah jadi cerita yang nempel di kepala audiens. Pertanyaannya, brand kamu mau “berdosa” di bagian mana? Pride yang bikin eksklusif, Envy yang memicu FOMO, atau Sloth yang menjanjikan kemudahan?
Apapun jawabannya, strategi ini bisa jadi jalan buat bikin brand kamu lebih dekat dengan audiens. Yuk, #jalanbareng bareng SKENA, biar kita formulasikan “dosa” marketing yang justru bikin brand kamu nggak bisa dilupain.